Sejumlah kasus yang menimpa para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sangatlah menegiris hati. Tampaknya julikan “pahlawan devisa”, tidak membawa kebaikan untuk para TKI. Lihat saja nasib dari Kikim Komalasari dan Sumiati. Nasib buruk keduanya hanya menambah panjang sejumlah kasus kekerasan yang menimpa TKI, sebagai akibat carut marutnya pengiriman TKI ke luar negeri. Demikian banyaknya kasus yang terjadi, sampai sekarang belum ada yang menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Tidak ada perlindungan hokum bagi TKI. Mereka seolah-olah dibiarkan begitu saja memasuki hutan belantara sebuah negara.
Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perempuan, saat ini jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 6 juta orang. Mereka bekerja di Timur Tengah, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Brunai Darussalam, dan Singapura. Dan delapan puluh persen TKI kita adalah perempuan.
Salah satu alasan mereka berangkat adalah karena faktor kemiskinan. Jerat keniskinan memdorong mereka nekad bekerja tanpa bekal keahlian dan pengetahuan. Komnas perempuan mencatat, pelanggaran hak buruh migran sudah terjadi sejak pemberangkatannya dari kampung halamannya. Ada yang mengalami penipuan, pemalsuan dokumen, jeratan hutang, penyekapan, pemerkosaan, menjadi korban perdagangan manusia. Mereka juga tidak mendapat informasi yang cukup dan kerap dipekerjakan secara ilegal dan tanpa bayaran oleh PJTKI, kekerasan fisik dan seksual, eksploitasi, paspor yang disandera, larangan berkomunikasi, dll. Ketika pulang ke tanah air, derita yang lain telah menanti. Para TKI kerap mengalami kekerasan dan pungutan liar di terminal khusus kedatangan, serta selama di perjalanan pulang ke kampung halaman. Demikian malangnya nasib para TKI kita, adakah solusi untuk mengatasinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar