Minggu, 23 Januari 2011

Bunga Rafflesia Arnoldi dan Ciri Utamanya

(Bunga Rafflesia Arnoldi) – Ciri utama yang membedakan Bunga rafflesia Arnoldi dengan bunga bangkai  atau Suweg Raksasa secara awam adalah bentuknya yang melebar (bukan tinggi) dan berwarna merah. Ketika mekar, bunga ini bisa mencapai diameter sekitar 1 meter dan tinggi 50 cm. Bunga rafflesia tidak memiliki akar, tangkai, maupun daun. Bunganya memiliki 5 mahkota. Di dasar bunga yang berbentuk gentong terdapat bunga sari atau putik, tergantung jenis kelamin bunga. keberadaan putik dan benang sari yang tidak dalam satu rumah membuat presentase pembuahan yang dibantu oleh serangga lalat sangat kecil, karena belum tentu dua bunga berbeda kelamin tumbuh dalam waktu bersamaan di tempat yang berdekatan. Masa pertumbuhan bunga ini memakan waktu sampai 9 bulan, tetapi masa mekarnya hanya 5-7 hari. Setelah itu rafflesia akan layu dan mati.

Rafflesia merupakan tumbuhan parasit obligat pada tumbuhan merambat (liana) tetrasigma dan tinggal di dalam akar tersebut seperti tali. Sampai saat ini Rafflesia tidak pernah berhasil dikembangbiakkan di luar habitat aslinya dan apabila akar atau pohon inangnya mati, Raflesia akan ikut mati. Oleh karena itu Raflesia membutuhkan habitat hutan primer untuk dapat bertahan hidup.

Bunga Rafflesia Arnoldi yang banyak dikenal masyarakat adalah jenis rafflesia arnoldii. Jenis ini hanya tumbuh di hutan sumatera bagian selatan, terutama Bengkulu. Satu tempat yang paling bagus dan mudah untuk menemukan bunga rafflesia arnoldii ini adalah di hutan sepanjang jalan Bengkulu-Curup setelah Kepahyang. Di Bengkulu sendiri, bunga rafflesia telah dijadikan sebagai motif utama batik besurek (batik khas Bengkulu) sejak lama.

Sedikit informasi, selama 200an tahun tumbuh-tumbuhan dari genus Rafflesiaceae sulit diklasifikasikan karena karakteristik tubuh yang tidak umum. Berdasarkan penelitian DNA oleh para ahli botani di Universitas Harvard baru-baru ini, rafflesia dimasukkan ke dalam family Euphorbiaceae, satu keluarga dengan pohon karet dan singkong. Tapi hal ini masih belum terpublikasi dengan baik.

sumber:
http://www.g-excess.com/id/bunga-rafflesia-arnoldi-dan-ciri-utamanya.html

Selasa, 11 Januari 2011

HACHIKO


Film "Hachiko: A Dog’s Story" bercerita tentang seekor anjing yang sangat setia pada tuannya, melebihi batas kesetiaan anjing pada rata-rata. Cerita ini bermula ketika Profesor Parker Wilson (Richard Gere) menemukan seekor anjing kecil di Stasiun Kereta Api Bedridge, Wonsocked, Amerika Serikat, tempat ia biasa pergi bekerja dan pulang dari kerja. Anjing berjenis akita itu kemudian diajaknya pulang ke rumah dan diberi nama Hachiko. Parker dan istrinya Cate (Joan Allen) merawat anjing itu hingga Hachiko bertumbuh besar dan tiada tiada hari yang dilewatkan Parker tanpa bermain dengan Hachiko. Suatu hari, ketika Hachiko sudah beranjak dewasa, tanpa disangka ia mengikuti Parker ke stasiun saat Parker berangkat kerja. Parker terpaksa keluar dari kereta untuk memulangkan Hachico ke rumah. Namun, ternyata Hachico menjemputnya di stasiun pada pukul 17.00. Sejak saat itu Parker membiarkan Hachico mengantar-jemputnya di stasiun. Para pemilik kios, pedagang, dan pejalan kaki, serta "commuter" (orang yang bekerja secara "nglaju") tercengang-cengang dengan kelakuan Hachiko yang tidak seperti anjing pada umumnya. Semua orang orang di sekitar Stasiun Bedridge menyayangi Hachiko dan selalu menyapa anjing itu layaknya sebagai manusia.
 Sampai pada satu hari, Hachiko tak menemukan kedatangan tuannya di stasiun pada pukul 17.00. Parker Wilson ternyata meninggal karena serangan jantung ketika ia tengah mengajar, sementara Hachiko sepertinya tak pernah mengerti perihal meninggalnya Parker. Setelah kematian Parker, Cate menjual rumahnya dan meninggalkan Bedridge. Sementara Hachiko dipelihara oleh anak perempuan Parker, Andy Wilson (Sarah Roemer). Berulang kali Hachiko kabur dari rumah Andy untuk pergi ke stasiun, berharap ia akan menemukan tuannya kembali. Andy selalu menjemput Hachiko di stasiun hingga pada akhirnya Andy merelakan Hachiko pergi. Hachiko tinggal di stasiun dan pada pukul 17.00, ia akan duduk di bundaran di depan stasiun, menanti kedatangan tuannya.
Keunikan tingkah laku Hachiko itu menarik perhatian orang-orang di sekitar situ, bahkan tulisan mengenainya dimuat di koran-koran sehingga kisah anjing ini menjadi legenda. Sehingga orang-orang memberi makan Hachiko secara bergantian. Kesetiaan Hachiko bertahan hingga tahun kesepuluh meninggalnya Parker. Sampai akhirnya pada musim dingin tahun ke sepuluh, Hachiko meninggal di bundaran stasiun pada tengah malam. Pembuatan film ini diinspirasi dari kisah nyata seekor anjing bernama Hachiko yang hidup dalam rentang waktup tahun 1923-1935 di Jepang. Kisah yang disajikan dalam Hachiko: A Dog’s Story persis sama dengan kisah aslinya. Di Jepang, sebuah monumen berupa patung untuk mengenang kesetiaan Hachiko didirikan di depan Stasiun Shibuya. 
Makna keindahan yang didapat dari kisah hachiko ini ialah kesetiaan seorang anjing kepada majikannya, yang dikisahkan hachiko selalu setia menunggu tuannya hingga ia mati. Hachiko rela menahan dinginnya salju, panasnya matahari hanya untuk dapat melihat tuannya kembali, kisah ini mengisyaratkan bahwa hewan memiliki hati, perasaan untuk mengasihi dan dikasihi, asalkan kita mau untuk merawat,menjaganya, dan mengasihinya terlebih dahulu. Maka hewan tersebut akan jauh lebih setia kepada kita melebihi dari apa yang kita pikirkan.





Durasi                 : 100 menit
Tempat menonton : Di Rumah
Waktu menonton   : 16.00 - 17.40

BENTUK PENDERITAAN


Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Namun, peranan individu juga menentukan berat-tidaknya Intensitas penderitaan. Suatu perristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang, belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan. Akibat penderitaan yang bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar dari suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat. Penderitaan juga dapat ‘menular’ dari seseorang kepada orang lain, apalagi kalau yang ditulari itu masih sanak saudara. Kisah penderitaan pernah dialami oleh seorang TKW asal Lampung yang menjadi korban kebiadaban majikannya di Malaysia. Sebut saja An, An menderita luka di punggung, dada, serta kaki karena perlakuan dari majikannya. Ia sering dicambuk dengan menggunakan ikat pinggang, sang majikan menyiramkan air panas dan menyetrika tubuh korban. Selain disiksa, An juga diperkosa. An hanya diberi gaji 30 ringgit/bulan atau sekitar Rp 90.000/bulan. Berdasarkan hasil visum, alat kelamin An mengalami luka. Kejadian ini diduga telah berlangsung berkali-kali selama hampir empat bulan terakhir. An dibuang majikannya di sebuah kawasan sekitar 40 kilometer dari Kota Penang. Korban dibawa ke polisi setelah diselamatkan warga setempat. Korban sempat dirawat di Rumah Sakit Penang, Malaysia.
Hal ini terjadi tentu karena akibat masih minimnya pengawasan terhadap pengiriman dan perlindungan TKI yang dilakukan pemerintah setempat maupun pusat. An hanyalah satu dari ratusan, atau bahkan ribuan, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mendapat perlakuan tidak manusiawi di luar negeri. Sering kali keberadaan TKI hanya dijadikan pelengkap penderita yang dapat diperah dan dieksploitasi. Ironisnya, sering kali aktivitas TKI tidak pernah dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam proses pembangunan, baik secara mikro maupun makro. Seringnya TKI mendapat perlakuan tidak manusiawi karena lemahnya perlindungan bagi para TKI sehingga mereka sering kali menjadi korban penyiksaan, perbudakan, dan pelecehan seksual. Lemahnya perlindungan terhadap TKI disebabkan antara lain, pertama, pemerintah melalui aparat terkait di luar negeri selama ini secara diplomatik belum siap melindungi para TKI yang menghadapi permasalahan.
Cara mengatasi hal diantaranya, pertama dengan melakukan perjanjian tertulis (MoU), baik perjanjian antara Indonesia dan negara pengguna TKI (G to G). Kedua, negara harus benar-benar berkoordinasi dengan perwakilannya di luar negeri (Kedubes RI) yang bertugas mendata, mengayomi, atau memantau keberadaan TKI yang ada di masing-masing negara tujuan. Ketiga, kedua, negara wajib memberikan bantuan hukum jika ada TKI yang memiliki persoalan hukum di negara tujuan. Keempat, pemerintah harus segera bertindak tegas dan membenahi sistem penempatan TKI di dalam negeri, memberikan kewenangan hanya kepada satu lembaga dengan konsep bermigrasi yang mudah, aman, dan murah. Kelima, mengoordinasikan serta mengintegrasikan penempatan dan perlindungan TKI.
Ke depannya, negara harus membuktikan bahwa antara teori atau aturan dan praktiknya, terutama dalam persoalan TKI, harus dijamin benar-benar akan diimplementasikan sesuai dengan tuntutan keinginan masyarakat luas. Tugas fungsi negara adalah mengatur dan menjamin kesejahteraan serta keselamatan warga negaranya dari segala kejahatan, pelanggaran HAM, penjajahan, kebodohan dan kemiskinan.












Sumber
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=68121














BENTUK KETIDAKADILAN


Akhir-akhir ini banyak sekali kita jumpai ketidakadilan disekitar kita, dimana orang yamg memiliki kuasa dan memiliki harta dialah yang menjadi pemenang dan dapat bertindak sewenang-wenangnya, lain halnya dengan masyarakat yang tidak memiliki harta ataupun kuasa, mereka itu tidak bisa berbuat apa - apa untuk membela dirinya sendiri mereka dapat dipermainkan dan dapat diperbudak. Dewasa ini, tak terhitung media baik elektronik maupun cetak membicarakan penyimpangan yang terjadi di pengadilan. Masyarakat selalu saja dikecewakan oleh hasil pengadilan. Keadilan di Indonesia ternyata begitu mahal bagi rakyat biasa. Rakyat biasa pun yang tadinya korban bisa berubah menjadi tersangka terkait dengan pengadilan. Begitu pandai pengadilan memutar balikan fakta hanya demi uang. Kasus demi kasus ketidakadilan banyak mencuat ke publik. Sehingga tak banyak rakyat percaya lagi akan keadilan di negeri ini. Seperti kasus seorang nenek yang mengambil kakao yang berujung di pengadilan. Nenek yang bertempat tinggal di Banyumas Jawa Tengah tersebut harus dihukum 1 bulan 15 hari kurungan penjara. Itulah ujian dari hakim yang menjatuhkan vonis atau hukuman kepada Sang Nenek. Sang hakim mengetukkan palu atas putusan hukuman. Sang nenek hanya pasrah dan yang lebih menyedihkan lagi hadirin yang hadir bertepuk tangan atas keputusan itu. Sesuai kronologisnya Sang Nenek mengakui telah mengambil dengan sengaja buah kakao itu. Setelah pemilik sebuah perusahaan perkebunan kakao, tahu dan tidak ridha sang nenek hanya mengembalikan buah itu dan meminta maaf saja. Tapi, ironisnya tetap saja sang pemilik buah menuntut ke Pengadilan. Perkebunan kakao itu beralasan untuk memberi efek jera. Seharusnya sang nenek sudah tidak dapat disalahkan karena ia sudah mengembalikan buah yang dicuri dan ia telah minta maaf atas kesalahan yang ia perbuat.Memang,inillah keanehan yang tak kunjung habis. Hanya karena mencuri tiga buah kakao yang tak lebih harganya dari lima ribu rupiah seorang nenek harus dihukum dengan kurungan penjara. Dan contoh lain adalah kasus dari Prita Mulyasari, hanya karena email yang berisikan keluhan pelayanan di rumah sakit Omni Internasional ibu dua orang anak tersebut harus berurusan dengan pengadilan. Prita harus menghadapi tuntutan pidana dan perdata yang diajukan oleh rumah sakit Omni Internasioanal. Tuntutan pidananya berupa kurungan dalam buih selama 6 bulan lamanya dan perdatanya berupa denda sebesar 204 juta. Rakyat pun banyak yang prihatin, sehingga banyak yang mendukung Prita dengan cara menyumbangkan uang koin untuk membantu membayar dendanya. Uang koin tersebut sebagai simbol perjuangan untuk membela hak-hak mereka untuk mendapatkan layanan kesehatahan yang lebih baik. Pada saat uang dendanya terkumpul, rumah sakit Omni Internasional kemudian menarik gugatan perdatanya. Mungkin karena rumah sakit Omni Internasional tidak mau menerima semua uang koin sebesar 204 juta. Tetapi tidak demikian dengan tuntutan pidananya, Prita tetap harus masuk kurungan penjara selama 6 bulan lamanya.
Lain halnya dengan Artalyta Suryani, kedapatan mendapatkan fasilitas mewah di dalam Rutan Pondok Bambu, tempatnya ditahan. Bukan hanya mendapatkan ruangan yang serba wah, Satgas juga menemukan yang bersangkutan sedang dirawat oleh seorang dokter spesialis. Ia memperoleh perawatan khusus dari dokter yang didatangkan dari luar Rutan. Itu adalah wajah hukum kita, wajah yang semakin suram baik di luar maupun di dalam. Itu pun baru satu temuan, betapa mafia hukum memang berada dimana-mana, dan ada dimana saja. Temuan itu justru ditemukan oleh Satgas yang dibentuk dari luar, bukan oleh mereka yang bekerja untuk melakukan pengawasan di instansi pemerintah, yang bekerja setiap tahun memastikan prosedur Rutan dijalankan dengan baik. Bagi kita, amat mudah menemukan alasan bagaimana seorang bernama Artalyta itu bisa menikmati fasilitas yang begitu mewah. Jawabnya adalah uang. Ia punya uang untuk melakukan apapun caranya dan untuk membeli apa yang dia mau. Karena uang itu pula maka para pejabat yang harusnya berwenang menegakkan peraturan menjadi tidak lagi bisa berkuasa. Mereka tunduk di bawah kekuasaan uang. Amat aneh kalau para petinggi Rutan tidak tahu menahu bahwa sebuah ruangan telah disulap oleh seorang terpidana. Mereka pasti merestuinya dan mengetahuinya.
Rumor mengenai uang ini bukan hanya berhembus pada kasus Arthalyta saja. Beberapa kasus lain, terutama yang menimpa mereka yang beruang dan berada dalam kasus yang melibatkan uang besar, juga ditengarai terjadi hal-hal serupa. Mereka tetap bisa bebas dalam penjara. Dengan menggunakan contoh itu pulalah maka kita mengerti mengapa keadilan dan kebenaran tidak pernah hadir di negeri kita. Wajah hukum kita sepertinya telah mudah dibeli oleh uang. Para pengusaha dan pelaku korupsi yang tidak juga ditangkap dan diperiksa, diyakini telah menggelontorkan sejumlah uang yang besarannya bisa mencapai miliaran rupiah supaya mereka tetap menghirup kebebasan. Setelah diperiksa, mereka juga bisa melakukan tindakan menyuap supaya mereka kalau bisa divonis bebas. Bahkan kalaupun sudah diyakini bersalah dan berada dalam tahanan, maka dengan uang pula mereka bisa tetap bebas merdeka dalam ruang tahanan, seperti Artalyta. Temuan terhadap Artalyta sebenarnya sudah cukup memperlihatkan bahwa mafia hukum ini terjadi karena dua pihak melakukan persekutuan jahat. Para pelaku kejahatan yang terbukti melakukan tindakan kejahatan, bersama-sama dengan para penegak hukum, melakukan tindakan tidak terpuji. Karena itu Satgas seharusnya segera melakukan langkah-langkah penting. Salah satu yang perlu dilakukan adalah memberikan efek jera kepada para pejabat yang ketahuan memberikan fasilitas lebih dan mudah kepada mereka yang terlibat dalam kejahatan. Para pimpinan Rutan dimana Artalyta misalnya harus ditahan bersama-sama dengan mereka yang sebelumnya ditahan. Para pejabat itu harus jera. Selain itu, kepada para pelaku kejahatan yang terbukti mencoba atau melakukan transaksi atas nama uang, harus diberikan hukuman tambahan. Memberikan efek jera demikian akan membuat mereka tidak ingin berpikir melakukan hal demikian lagi. Sudah seharusnya kini hukum di pemerintahan kita diperbaiki dimana pemerintah tidak pandang bulu dalam memberi hukuman kepada para tersangka. Misalnya saja pemerintah memberikan keringanan dalam membayar jasa pengacara bagi masyarakat yang tidak mampu dalam membayar pengacara untuk bisa  membelanya.












































SUMBER :