Selasa, 11 Januari 2011

BENTUK KETIDAKADILAN


Akhir-akhir ini banyak sekali kita jumpai ketidakadilan disekitar kita, dimana orang yamg memiliki kuasa dan memiliki harta dialah yang menjadi pemenang dan dapat bertindak sewenang-wenangnya, lain halnya dengan masyarakat yang tidak memiliki harta ataupun kuasa, mereka itu tidak bisa berbuat apa - apa untuk membela dirinya sendiri mereka dapat dipermainkan dan dapat diperbudak. Dewasa ini, tak terhitung media baik elektronik maupun cetak membicarakan penyimpangan yang terjadi di pengadilan. Masyarakat selalu saja dikecewakan oleh hasil pengadilan. Keadilan di Indonesia ternyata begitu mahal bagi rakyat biasa. Rakyat biasa pun yang tadinya korban bisa berubah menjadi tersangka terkait dengan pengadilan. Begitu pandai pengadilan memutar balikan fakta hanya demi uang. Kasus demi kasus ketidakadilan banyak mencuat ke publik. Sehingga tak banyak rakyat percaya lagi akan keadilan di negeri ini. Seperti kasus seorang nenek yang mengambil kakao yang berujung di pengadilan. Nenek yang bertempat tinggal di Banyumas Jawa Tengah tersebut harus dihukum 1 bulan 15 hari kurungan penjara. Itulah ujian dari hakim yang menjatuhkan vonis atau hukuman kepada Sang Nenek. Sang hakim mengetukkan palu atas putusan hukuman. Sang nenek hanya pasrah dan yang lebih menyedihkan lagi hadirin yang hadir bertepuk tangan atas keputusan itu. Sesuai kronologisnya Sang Nenek mengakui telah mengambil dengan sengaja buah kakao itu. Setelah pemilik sebuah perusahaan perkebunan kakao, tahu dan tidak ridha sang nenek hanya mengembalikan buah itu dan meminta maaf saja. Tapi, ironisnya tetap saja sang pemilik buah menuntut ke Pengadilan. Perkebunan kakao itu beralasan untuk memberi efek jera. Seharusnya sang nenek sudah tidak dapat disalahkan karena ia sudah mengembalikan buah yang dicuri dan ia telah minta maaf atas kesalahan yang ia perbuat.Memang,inillah keanehan yang tak kunjung habis. Hanya karena mencuri tiga buah kakao yang tak lebih harganya dari lima ribu rupiah seorang nenek harus dihukum dengan kurungan penjara. Dan contoh lain adalah kasus dari Prita Mulyasari, hanya karena email yang berisikan keluhan pelayanan di rumah sakit Omni Internasional ibu dua orang anak tersebut harus berurusan dengan pengadilan. Prita harus menghadapi tuntutan pidana dan perdata yang diajukan oleh rumah sakit Omni Internasioanal. Tuntutan pidananya berupa kurungan dalam buih selama 6 bulan lamanya dan perdatanya berupa denda sebesar 204 juta. Rakyat pun banyak yang prihatin, sehingga banyak yang mendukung Prita dengan cara menyumbangkan uang koin untuk membantu membayar dendanya. Uang koin tersebut sebagai simbol perjuangan untuk membela hak-hak mereka untuk mendapatkan layanan kesehatahan yang lebih baik. Pada saat uang dendanya terkumpul, rumah sakit Omni Internasional kemudian menarik gugatan perdatanya. Mungkin karena rumah sakit Omni Internasional tidak mau menerima semua uang koin sebesar 204 juta. Tetapi tidak demikian dengan tuntutan pidananya, Prita tetap harus masuk kurungan penjara selama 6 bulan lamanya.
Lain halnya dengan Artalyta Suryani, kedapatan mendapatkan fasilitas mewah di dalam Rutan Pondok Bambu, tempatnya ditahan. Bukan hanya mendapatkan ruangan yang serba wah, Satgas juga menemukan yang bersangkutan sedang dirawat oleh seorang dokter spesialis. Ia memperoleh perawatan khusus dari dokter yang didatangkan dari luar Rutan. Itu adalah wajah hukum kita, wajah yang semakin suram baik di luar maupun di dalam. Itu pun baru satu temuan, betapa mafia hukum memang berada dimana-mana, dan ada dimana saja. Temuan itu justru ditemukan oleh Satgas yang dibentuk dari luar, bukan oleh mereka yang bekerja untuk melakukan pengawasan di instansi pemerintah, yang bekerja setiap tahun memastikan prosedur Rutan dijalankan dengan baik. Bagi kita, amat mudah menemukan alasan bagaimana seorang bernama Artalyta itu bisa menikmati fasilitas yang begitu mewah. Jawabnya adalah uang. Ia punya uang untuk melakukan apapun caranya dan untuk membeli apa yang dia mau. Karena uang itu pula maka para pejabat yang harusnya berwenang menegakkan peraturan menjadi tidak lagi bisa berkuasa. Mereka tunduk di bawah kekuasaan uang. Amat aneh kalau para petinggi Rutan tidak tahu menahu bahwa sebuah ruangan telah disulap oleh seorang terpidana. Mereka pasti merestuinya dan mengetahuinya.
Rumor mengenai uang ini bukan hanya berhembus pada kasus Arthalyta saja. Beberapa kasus lain, terutama yang menimpa mereka yang beruang dan berada dalam kasus yang melibatkan uang besar, juga ditengarai terjadi hal-hal serupa. Mereka tetap bisa bebas dalam penjara. Dengan menggunakan contoh itu pulalah maka kita mengerti mengapa keadilan dan kebenaran tidak pernah hadir di negeri kita. Wajah hukum kita sepertinya telah mudah dibeli oleh uang. Para pengusaha dan pelaku korupsi yang tidak juga ditangkap dan diperiksa, diyakini telah menggelontorkan sejumlah uang yang besarannya bisa mencapai miliaran rupiah supaya mereka tetap menghirup kebebasan. Setelah diperiksa, mereka juga bisa melakukan tindakan menyuap supaya mereka kalau bisa divonis bebas. Bahkan kalaupun sudah diyakini bersalah dan berada dalam tahanan, maka dengan uang pula mereka bisa tetap bebas merdeka dalam ruang tahanan, seperti Artalyta. Temuan terhadap Artalyta sebenarnya sudah cukup memperlihatkan bahwa mafia hukum ini terjadi karena dua pihak melakukan persekutuan jahat. Para pelaku kejahatan yang terbukti melakukan tindakan kejahatan, bersama-sama dengan para penegak hukum, melakukan tindakan tidak terpuji. Karena itu Satgas seharusnya segera melakukan langkah-langkah penting. Salah satu yang perlu dilakukan adalah memberikan efek jera kepada para pejabat yang ketahuan memberikan fasilitas lebih dan mudah kepada mereka yang terlibat dalam kejahatan. Para pimpinan Rutan dimana Artalyta misalnya harus ditahan bersama-sama dengan mereka yang sebelumnya ditahan. Para pejabat itu harus jera. Selain itu, kepada para pelaku kejahatan yang terbukti mencoba atau melakukan transaksi atas nama uang, harus diberikan hukuman tambahan. Memberikan efek jera demikian akan membuat mereka tidak ingin berpikir melakukan hal demikian lagi. Sudah seharusnya kini hukum di pemerintahan kita diperbaiki dimana pemerintah tidak pandang bulu dalam memberi hukuman kepada para tersangka. Misalnya saja pemerintah memberikan keringanan dalam membayar jasa pengacara bagi masyarakat yang tidak mampu dalam membayar pengacara untuk bisa  membelanya.












































SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar